Jumat, 09 Agustus 2019

Membangun Danau Toba Harus Sejalan dengan Membangun Mental Warganya

“Hey... Klen,.. klo ngak mau kau beli jangan cuma liat-liat aja, kau pegang-pegang pula!” dengan logat khas kota Medan seorang Inang-inang Sambu (julukan untuk Ibu-ibu pedagang di Medan), tepatnya di pasar Sambu, sedang marah sama saya dan teman saya ketika kami berdua sedang mencari sesuatu untuk keperluan tugas sekolah. Kontan saja kami pergi menjauh sebelum si Inang-inang ini mengeluarkan jurus tamparan sekujur tubuh pakai kayu rotan pengusir debu yang dipegangnya.

Cerita seperti pengalaman saya di atas bukanlah hal yang aneh buat sebagian besar warga Sumatera utara khususnya di daerah Kotamadya Medan (mis: Pasar Sambu dan Terminal Amplas),  Danau Toba (mis: Parapat dan Tomok) dan juga Berastagi/Kabanjahe.

Baru- baru ini kita disuguhi dengan berita yang beredar di jejaring sosial Facebook dimana seorang Ibu pedagang di daerah Berastagi, kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang tega “mengejar dan menampar”๐Ÿ˜ฑ seorang turis Asal Malaysia karena gagalnya transaksi jual beli diantara mereka. Kita tidak tahu inti permasalahan diantara mereka tapi kejadian ini sangatlah memalukan dan telah mencoreng wajah Berastagi yang notabene salah satu daerah di sekitaran Danau Toba yang saat ini sedang dibenahi untuk menuju salah satu dari 10 destinasi wisata “Bali baru”.

Saya pikir tidak penting membahas atau mencari sebab akibat dari permasalahan mereka karena apapun makanannya, minumnya tuak takkasan ๐Ÿ˜‚persoalan mereka tidaklah sepatutnya si Ibu tersebut beraksi main tampar layaknya seorang preman pasar.

Bali menjadi salah satu ikon wisata dunia bukan hanya menampilkan keindahan alamnya tapi juga budaya/adat, kesantunan dan keramahan warganya untuk menyambut para tamu/turis-turis yang datang baik lokal maupun mancanegara, sehingga tamu-tamu ini merasa nyaman seperti  sedang berada dirumah sendiri.

Hal ini akan menjadi PR penting pemerintah dan tentunya masyarakat untuk tidak mengesampingkan pendidikan mental (watak dan karakter) yang baik jika ingin menciptakan Danau Toba menjadi Bali baru. Mustahil  turis-turis akan datang dan betah tinggal di Danau Toba jika yang dibenahi hanya fisik daerahnya saja tanpa membangun watak dan karakter yang baik dari warganya.

Ayo “Kita Bisa”
Horas..Horas..Horas

Parkombur Lapo Tuak

Jumat, 02 Agustus 2019

Jokowi dan Sibolang Rasta


       Sibolang Rasta adalah salah satu jenis ulos pada masyarakat/suku Batak Toba yang sering digunakan pada saat acara adat yang melambangkan duka cita. Ulos jenis ini  berfungsi sebagai ulos saput yang dikenakan pada orang yang sudah meninggal tetapi belum memiliki cucu dan juga sebagai tujung yang diikatkan diatas kepala suami atau isteri dari orang yang meninggal tersebut sebagai tanda berkabung.

       Jenis ulos ini menjadi salah satu perbincangan saat Presiden RI ke-7, Joko Widodo berkunjung ke Kabupaten Tapanuli Utara tepatnya di Taman Wisata Salib Kasih, Tarutung pada hari Selasa, 30 Juli 2019. Pada kesempatan tersebut Jokowi memilih sebuah jaket yang bahannya terbuat dari jenis ulos Sibolang Rasta dan langsung memberikannya kepada menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Pak Basuki Hadimuljono.”Ini jaket khas Tapanuli, Sumatera Utara. Saya pilihkan khusus untuk pak Basuki, menteri PUPR. Bayar sendiri ya,” ๐Ÿ˜„ tulis Pak Presiden di instagram sembari memamerkan jaket tersebut.

       Tetapi yang menarik untuk dibahas adalah “Mengapa Jokowi memilih jaket Sibolang Rasta yang notabene fungsi jenis ulos tersebut sering digunakan saat acara adat duka cita? Apakah momen ini hanya kebetulan belaka atau adakah makna tersirat dari kejadian ini? Mari kita bahas sembari jangan lupa mandorguk (minum) tuaknya, hehe....

       Saya meyakini bahwa tidak ada satu peristiwa apapun di dunia ini yang “serba kebetulan”, semuanya sudah diatur oleh Sang Khalik Tuhan Yang Maha Agung, Yang Maha Esa. Demikian juga dengan peristiwa Jokowi dan jaket Sibolang Rasta ini, saya memaknainya bahwa tanah Batak sudah cukup lama vakum “mati suri”. Boleh dikatakan sejak Indonesia dinyatakan merdeka, 17 Agustus 1945, belum ada pemerintah pusat atau Presiden yang memberikan perhatian khusus seperti yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi saat ini.

       Momen Jokowi dan Sibolang Rasta di taman Wisata Rohani Salib Kasih seakan menyiratkan akan sebuah perubahan besar di tanah Batak dengan lautan manusia yang menyaksikannya dan Salib Kasih akan menjadi saksi bisunya. Dalam hal ini Jokowi seakan mengerti arti dan fungsi dari ulos Sibolang Rasta yang spontan memberikan/mengenakan tujung (beban) tersebut kepada menteri PUPR, Pak Basuki Hadimuljono untuk segera membenahi tanah Batak yang sudah lama tarulang. (Tarulang artinya ladang/sawah tidak diurus).

       Tetapi yang perlu disadari oleh masyarakat di sana adalah bahwa beban tugas ini bukanlah hanya dipundak Pak Basuki, melainkan tugas bersama masyarakat tanah Batak khususnya yang berada di Bonapasogit untuk bersama-sama membantu pemerintah demi terwujudnya Tano Batak yang Sejahtera dan tentunya harapan bersama semua Halak Batak termasuk saya dari tanah rantau untuk sesegera mungkin kita buka “UNGKAP TUJUNG” yang selama ini terikat dan menjadikannya sebuah karya layaknya seperti jaket warna merah yang indah pilihan Pak Dhe yang akan kita kenakan bersama sebagai tanda SEBENAR-BENARNYA MERDEKA. 

Horas...Horas...Horas


Salam, 
Parkombur Lapo Tuak ๐Ÿ™